Sabtu, 05 November 2011

Kronologi Keributan "Komodo"

Komodo di Taman Nasional Komodo di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
     Komodo, reptil purba yang hidup di Nusa Tenggara Timur sejak 4 juta tahun lalu, sedang disorot. Hewan satu masa dengan dinosaurus ini menjadi obyek konflik Pemerintah Indonesia dengan Pendukung Pemenangan Komodo dan New 7 Wonders Foundation, sebuah yayasan di Swiss.
Komodo termasuk hewan langka sangat dilindungi. Reptil ini satu-satunya hewan yang tersisa dari masa dinosaurus. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), komodo diperkirakan ada sejak 4 juta tahun lalu.
Keunikan inilah yang membuat banyak pihak tertarik memanfaatkan komodo sebagai obyek berbagai kepentingan. Lembaga New 7 Wonders Foundation (N7W) dari Swiss, misalnya, mengincar Taman Nasional Komodo (TNK) bersama 439 nominasi (obyek warisan alam) lainnya dari 220 negara untuk kontes komersial Tujuh Keajaiban Alam Dunia.
Yayasan yang didirikan Heidi Webber ini membuka kontes Tujuh Keajaiban Alam Dunia pada tahun 2007. Sebelumnya, yayasan ini juga mengadakan kontes Tujuh Keajaiban Alam Buatan Manusia.
Pada kontes sebelumnya, Borobudur dan Prambanan yang dicalonkan N7W tak bisa resmi ikut pemilihan karena Pemerintah Indonesia tak mau mendukung resmi (official supporting committee/OSC). Saat itu, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kembudpar) menuai kecaman dari beberapa pihak karena dianggap gagal menjaga Borobudur dan Prambanan.
Kontes Keajaiban Dunia, baik alam maupun buatan manusia, ini voting-nya melalui internet. Adapun Keajaiban Alam, selain TNK, nominasi lain dari Indonesia adalah Danau Toba dan Anak Gunung Krakatau.
Oleh karena tak ingin dikecam lagi, tahun 2008 Kembudpar berinisiatif menjadi OSC dari ketiga nominasi yang diajukan untuk kontes Tujuh Keajaiban Alam Dunia. Direktur Jenderal Pemasaran Pariwisata saat itu, Sapta Nirwandar, resmi mendaftarkan TNK, Danau Toba, dan Gunung Anak Krakatau dalam ajang kontes dengan membayar ongkos pendaftaran masing-masing 199 dollar AS atau sekitar Rp 1,8 juta.
Resmi didaftarkan, ketiga obyek tersebut mengikuti seleksi masuk untuk jadi 28 finalis. TNK lolos 28 besar, sedangkan Danau Toba dan Anak Gunung Krakatau gagal.
Tuan rumah
Proses selanjutnya, Indonesia ditawari menjadi tuan rumah penyelenggaraan deklarasi Tujuh Keajaiban Alam Dunia. Kembudpar saat itu menyatakan niat jadi tuan rumah deklarasi.
Proses surat-menyurat dengan N7W pun aktif dilakukan. Berdasarkan informasi dari N7W, butuh dana besar untuk menjadi tuan rumah. Hitungan mereka, Indonesia harus mengeluarkan biaya penyelenggaraan sekitar 35 juta dollar AS atau Rp 383 miliar.
Mekanisme pembiayaan bukan dibebankan kepada negara, melainkan dicari melalui sponsor, mirip pemilihan Miss Universe atau American Idol. Namun, menurut Sapta, tak ada sponsor Indonesia yang sanggup membiayai acara deklarasi. Oleh karena tak mungkin mengambil dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Indonesia mengurungkan niat menjadi tuan rumah.
Inilah pemicu konflik dengan N7W. Melalui sarana telekonferensi yang diadakan Jusuf Kalla, Jumat (4/11), di Kantor Pusat Palang Merah Indonesia di Jakarta, Jean-Paul de la Fuente, Direktur N7W, mengatakan, Pemerintah Indonesia tak bisa dipercaya. ”Jika seseorang menyatakan sanggup, omongan mereka yang kami pegang,” kata dia.
Dianggap ingkar janji, N7W awalnya hendak mencoret komodo sebagai finalis Tujuh Keajaiban Dunia. Namun, keputusan akhir N7W mencoret Kembudpar sebagai OSC. Komodo bisa terus mengikuti kontes asalkan ada pendukung lainnya yang menjadi OSC.
Merasa diancam N7W, Kembudpar resmi mundur dari ajang kontes Tujuh Keajaiban Alam Dunia. Sebelumnya, pemerintah dibantu Kedubes RI di Swiss dan sejumlah wartawan mendatangi kantor N7W. Hasilnya, alamat N7W tak jelas, kode pos antara kop surat dan lokasi kantor berbeda, dan banyak kejanggalan lain. ”Kami berkesimpulan lembaga ini tak kredibel,” kata Jero Wacik, yang waktu itu Menbudpar.
Setelah Kembudpar tak lagi jadi OSC, aktivis lingkungan Emmy Hafild bersama sejumlah rekannya dalam Pendukung Pemenangan Komodo (P2K) menyatakan sanggup menjadi OSC. P2K lalu mengupayakan agar voting tak hanya lewat internet, tetapi juga lewat pesan singkat (SMS) agar lebih banyak diakses masyarakat Indonesia. Mereka juga menggandeng Jusuf Kalla, Ketua Umum PMI, sebagai Duta Pemenangan Komodo.
Pada awal kampanye P2K, voting melalui SMS ini dikenai tarif Rp 1.000 per SMS. Namun, karena sulit menarik dukungan, melalui lobi-lobi Jusuf Kalla, tarif SMS turun jadi Rp 1 per SMS. ”Uang itu akan kami kembalikan kepada operator sebagai tanda terima kasih masyarakat kepada operator,” kata Kalla.
Jean mengatakan, saat voting ditutup tanggal 11 November 2011, mereka akan mengumumkan hasil sementara voting.
Bagi Jusuf Kalla, yang penting komodo terkenal dulu ke seluruh dunia sehingga wisatawan asing berdatangan ke Indonesia. Bagaimana jika akhirnya justru mengganggu konservasi komodo? ”Komodo dijadikan wisata eksklusif,” kata Kalla.
Wisatawan asing dikenai tarif mahal dan jumlahnya dibatasi sesuai aturan konservasi. Saat mengantre inilah, wisatawan asing mengunjungi obyek-obyek wisata lain di Tanah Air.
Sayang, gagasan pengembangan pariwisata ini tak dipahami. Yang muncul polemik keabsahan N7W, aliran potongan pulsa SMS, dan sebagainya.
Apabila kesejahteraan manusia muaranya, hendaknya semua upaya dilandasi kejujuran dan ketulusan. Sumber : Kompas.com

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar